Pernahkah kamu merasa perut bagian atas terasa tidak nyaman setelah makan? Atau sering sendawa berlebihan hingga mengganggu aktivitas sehari-hari? Bisa jadi kamu mengalami dispepsia. Kondisi ini memang sering dianggap sepele, padahal jika dibiarkan bisa mengganggu kualitas hidup secara signifikan.
Banyak orang di Indonesia mengenal dispepsia sebagai ‘maag’, meskipun secara medis kondisinya jauh lebih rumit. Tidak mengherankan jika keluhan seperti kembung atau nyeri di ulu hati sering muncul tanpa disadari sebagai tanda dispepsia. Mari kita bahas lebih dalam tentang apa itu dispepsia dan bagaimana cara mengatasinya.
Definisi Dispepsia

Pengertian Medis Dispepsia
Dispepsia bukan sekadar ‘perut tidak enak’. Dalam dunia medis, ini didefinisikan sebagai nyeri atau rasa tak nyaman di ulu hati yang muncul terus-menerus, minimal seminggu sekali. Dalam dunia medis, dispepsia artinya gangguan pencernaan yang melibatkan lambung dan bagian atas usus dua belas jari (duodenum).
Penyakit dispepsia ini sebenarnya bukan merupakan penyakit tunggal, melainkan kumpulan gejala yang berkaitan dengan saluran pencernaan bagian atas. Kondisi ini bisa terjadi secara akut (mendadak) atau kronis (berlangsung lama).
Perbedaan dengan Sakit Maag Biasa
Masih banyak yang keliru menganggap dispepsia dan sakit maag sebagai kondisi yang sama. Maag, atau yang dikenal secara medis sebagai gastritis, hanyalah salah satu penyebab dispepsia yang memiliki cakupan gejala lebih luas.
Dispepsia bisa disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk maag itu sendiri. Jadi, maag adalah salah satu penyebab dispepsia, bukan kondisi yang sama. Gejala dispepsia juga cenderung lebih bervariasi dan tidak selalu berhubungan langsung dengan peradangan lambung.
Prevalensi di Indonesia
Menurut PAPDI, hampir 1 dari 3 orang dewasa di Indonesia pernah merasakan gejala dispepsia. Angka ini menunjukkan betapa umumnya masalah ini, meski sering diabaikan.
Dispepsia dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia, dari remaja hingga orang lanjut usia. Namun, prevalensi cenderung meningkat seiring bertambahnya usia dan gaya hidup modern yang serba cepat.
Gejala Dispepsia

Rasa Sakit atau Ketidaknyamanan di Ulu Hati
Tanda paling khas dispepsia adalah sensasi nyeri atau tidak enak di epigastrium, yaitu area atas perut di bawah tulang dada. Nyeri ini bisa terasa seperti ditusuk-tusuk, terbakar, atau tertekan.
Karakteristik nyeri dispepsia biasanya tidak terlalu tajam seperti sakit maag pada umumnya. Sebagian orang merasa seperti ada sesuatu yang nyangkut atau menekan dari dalam perut bagian atas, meski tidak bisa dijelaskan secara pasti. Intensitasnya bisa bervariasi dari ringan hingga sedang, jarang sampai membuat penderita tidak bisa beraktivitas sama sekali.
Rasa Penuh Setelah Makan
Salah satu keluhan yang paling mengganggu adalah rasa penuh yang berlebihan setelah makan, bahkan ketika porsi makanan tidak terlalu banyak. Kondisi ini disebut early satiety dalam istilah medis.
Penderita dispepsia sering merasa kenyang dengan cepat, padahal baru makan beberapa suap. Akibatnya, asupan makanan jadi berkurang dan berat badan bisa turun jika kondisi ini berlangsung lama.
Mual dan Muntah
Gejala mual pada dispepsia biasanya muncul setelah makan atau saat perut kosong. Tidak seperti mual karena masuk angin yang familiar di telinga kita, mual dispepsia cenderung berlangsung lebih lama dan disertai rasa tidak nyaman di perut.
Muntah bisa terjadi, tapi tidak selalu. Kalau sampai muntah, biasanya isinya adalah makanan yang belum tercerna sempurna. Frekuensi muntah pada dispepsia umumnya tidak sebanyak pada kondisi gastroenteritis akut.
Sendawa Berlebihan
Sendawa yang berlebihan adalah salah satu gejala dispepsia yang paling mudah dikenali. Penderita bisa sendawa berkali-kali dalam sehari, bahkan tanpa makan atau minum apapun.
Sendawa ini terjadi karena udara yang tertelan berlebihan (aerofagia) atau karena produksi gas berlebihan di lambung. Meskipun terlihat sepele, sendawa berlebihan bisa sangat mengganggu, terutama saat sedang berada di tempat umum.
Heartburn
Sensasi panas di dada (heartburn) termasuk gejala dispepsia yang kerap dianggap sepele. Sensasi terbakar ini biasanya muncul dari perut bagian atas dan menjalar ke dada, bahkan kadang sampai ke leher.
Gejala ini sering disalahartikan sebagai masalah jantung, padahal penyebabnya adalah refluks asam lambung ke kerongkongan. Gejala heartburn umumnya makin terasa setelah mengonsumsi makanan yang asam, pedas, atau tinggi lemak.
Penyebab Dispepsia

Infeksi H. pylori
Helicobacter pylori adalah bakteri yang hidup di lapisan mukosa lambung dan menjadi penyebab utama dispepsia. Mikroorganisme ini mampu hidup dalam kondisi asam lambung yang ekstrem dan memicu peradangan berkepanjangan.
Di Indonesia, infeksi H. pylori cukup lazim, khususnya di wilayah yang memiliki sanitasi kurang memadai. Penularan H. pylori dapat terjadi melalui konsumsi air yang tercemar atau interaksi langsung dengan individu yang terinfeksi. Sayangnya, banyak orang yang terinfeksi H. pylori tidak menunjukkan gejala hingga bertahun-tahun.
Obat-obatan (NSAID)
Konsumsi jangka panjang obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti ibuprofen, aspirin, atau diklofenak berisiko menimbulkan dispepsia. Jenis obat ini bekerja dengan menurunkan kadar prostaglandin—zat alami yang sebenarnya bertugas melindungi dinding lambung dari iritasi.
Obat NSAID cukup sering dipakai di Indonesia untuk meredakan keluhan seperti sakit kepala, nyeri haid, hingga pegal-pegal sendi. Masalahnya, banyak orang yang mengonsumsi NSAID tanpa resep dokter dan dalam dosis yang tidak tepat. Akibatnya, risiko dispepsia jadi meningkat.
Stres dan Kecemasan
Jangan remehkan stres! Tanpa disadari, tekanan psikologis bisa memicu dispepsia fungsional—gangguan pencernaan yang muncul tanpa kerusakan fisik pada lambung.
Saat pikiran sedang kacau atau stres menumpuk, tubuh sering bereaksi lewat perut—produksi asam bisa naik dan gerakan usus jadi tak beraturan. Mereka yang kerap mengalami stres memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami gangguan pencernaan seperti dispepsia. Di era modern ini, stres akibat pekerjaan, kemacetan Jakarta, atau masalah keuangan bisa jadi pemicu dispepsia.
Pola Makan Tidak Teratur
Pola makan yang tidak konsisten menjadi salah satu pemicu dispepsia yang paling umum ditemui. Kebiasaan makan tergesa-gesa karena jam istirahat mepet, sering nunda waktu makan karena nanggung lagi melakukan sesuatu, atau sering telat makan dapat mengacaukan proses pencernaan.
Budaya “ngebut” dalam makan karena tuntutan pekerjaan yang padat sering membuat orang makan dengan tergesa-gesa. Padahal, proses mengunyah yang tidak sempurna bisa menyebabkan beban kerja lambung meningkat dan memicu dispepsia.
Merokok dan Alkohol
Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebihan juga berkontribusi terhadap terjadinya dispepsia. Nikotin dalam rokok bisa meningkatkan produksi asam lambung dan mengganggu aliran darah ke lambung.
Alkohol memiliki efek iritasi langsung pada dinding lambung. Asupan alkohol berlebihan dapat memicu iritasi serta mengganggu kinerja sistem pencernaan. Kombinasi rokok dan alkohol tentu saja akan memperparah risiko dispepsia.
Penanganan dan Pengobatan

Perubahan Gaya Hidup
Langkah pertama dalam mengatasi dispepsia adalah mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Ini termasuk mengatur pola makan dengan lebih baik – makan dalam porsi kecil tapi sering, mengunyah makanan dengan sempurna, dan menghindari makanan pemicu.
Kurangi konsumsi cabe rawit, jeruk nipis, gorengan, dan kopi berlebihan. Contohnya, sambal bisa memperparah iritasi lambung, sementara kopi meningkatkan produksi asam.
Sebagai gantinya, pilih makanan yang ringan dan mudah dicerna seperti bubur, roti tawar, atau pisang matang. Minum air putih yang cukup juga penting untuk membantu proses pencernaan.
Manajemen stres juga tidak kalah penting. Aktivitas santai seperti meditasi, yoga, atau sekadar menyusuri taman bisa membantu meredakan gejala dispepsia. Olahraga teratur juga bisa memperbaiki fungsi pencernaan secara keseluruhan.
Obat-obatan (Antasida, PPI)
Jika keluhan sudah cukup mengganggu, dokter biasanya akan meresepkan beberapa jenis obat. Antasida adalah pilihan pertama untuk mengatasi gejala dispepsia ringan. Fungsinya adalah untuk menetralkan kelebihan asam yang diproduksi oleh lambung.
Proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole atau lansoprazole bisa digunakan untuk kasus yang lebih serius. PPI bekerja dengan menghambat produksi asam lambung di tingkat sel. Biasanya, obat ini dikonsumsi sebelum makan agar efeknya lebih maksimal.
Jika dispepsia disebabkan oleh H. pylori, maka pengobatan berupa kombinasi antibiotik dan PPI akan direkomendasikan oleh dokter. Pengobatan ini biasanya berlangsung selama 7-14 hari dan cukup efektif mengatasi infeksi.
Kapan Harus ke Dokter
Meskipun dispepsia umumnya tidak berbahaya, ada beberapa kondisi yang mengharuskan kamu untuk segera mencari bantuan medis. Gejala alarm yang perlu diwaspadai antara lain nyeri perut yang sangat hebat, muntah darah, atau tinja berwarna hitam.
Penurunan berat badan yang drastis tanpa sebab yang jelas juga harus segera diperiksakan ke dokter. Gejala ini bisa menandakan adanya kondisi yang lebih serius seperti kanker lambung atau ulkus peptikum.
Jika gejala dispepsia berlangsung lebih dari 2 minggu meskipun sudah mengubah gaya hidup, sebaiknya konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Menentukan diagnosis yang akurat menjadi kunci dalam memilih terapi yang tepat sasaran.
Tips Pencegahan
Mencegah dispepsia sebenarnya tidak sulit jika kamu konsisten menerapkan gaya hidup sehat. Mulai dari hal-hal sederhana seperti makan secara perlahan, tidak berbaring langsung setelah makan, dan menghindari makanan pemicu.
Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol juga sangat penting. Jika kamu harus mengonsumsi NSAID untuk kondisi tertentu, konsultasikan dengan dokter tentang cara mengonsumsinya yang aman untuk lambung.
Atasi stres dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan dan sesuai dengan minatmu. Bisa dengan mendengarkan musik, berkebun, atau melakukan hobi lainnya. Ingat, kesehatan mental dan fisik saling berkaitan erat.
Dispepsia memang kondisi yang umum terjadi, tapi jangan sampai diabaikan begitu saja. Dengan pemahaman yang benar tentang penyebab dan cara mengatasinya, kamu bisa mengendalikan gejala dan mencegah komplikasi yang lebih serius. Yang terpenting adalah konsisten menerapkan gaya hidup sehat dan tidak ragu untuk berkonsultasi dengan dokter jika diperlukan.
Referensi :
- Firiansyah, A. R., Amir, S. P., Muchtar, A., Hidayati, P. H., & Nur, M. J. (2025). Characteristics of Dyspepsia Syndrome in 2021 Students of the Faculty of Medicine, Universitas Muslim Indonesia. Borneo Journal of Medical Laboratory Technology, 7(2), 680–688.
- Syam, A. F., Miftahussurur, M., Makmun, D., Abdullah, M., & et al. (2023). Management of dyspepsia and Helicobacter pylori infection: the 2022 Indonesian Consensus Report. Gut Pathogens, 15(1), Article 25.
- Black, C. J., Ezri, J., Ford, A. C., Nelson-Piercy, C., Shah, R., & British Society of Gastroenterology. (2022). British Society of Gastroenterology guideline on the management of functional dyspepsia. Gut, 71(9), 1697–1716.
- Lee, K., et al. (2024). Global prevalence of functional dyspepsia according to Rome criteria: systematic review and meta-analysis. Scientific Reports, 14, 54716.